Oleh: Syaefudin Simon, Kolumnis
Merasa Paling Dosa (MPD) adalah salah satu gangguan psikologis yang merusak jiwa seseorang. Dampaknya terhadap kehidupan si MPD luar biasa. Ia merasa terasing. Takut bertemu manusia. Tuhan seperti mengancamnya. Publik membencinya. Dan paling tragis: lebih baik mati bunuh diri dari pada hidup dalam kegelapan dan perundungan.
Kondisi ekstrim lain, terjadi pada sikap orang yang Merasa Paling Benar (MPB). Si MPB, juga mengalami gangguan jiwa. Ia merasa paling benar atas semua tindakannya. Tuhan merasa selalu berada di pihaknya. Ia merasa kunci surga ada di tangannya. Si MPB tak peduli kepada reaksi publik yang menolak pikirannya. Baginya, kebenaran mutlak ada padanya.
Celaka 12. MPD dan MPB ini banyak muncul akibat aturan-aturan agama dan moralitas manusia yang salah tafsir terhadap teks-teks kitab suci Al-Quran. Mirisnya, tafsir-tafsir atas kitab suci yang salah kaprah dan menyimpang ini - pinjam “Lora” Gus Islah Bahrawi - kini menjadi pedoman sebagian umat beragama. Terutama umat Islam yang mabuk agama.
Agama yang berkembang di Indonesia - kata Gus Islah - sebetulnya tak lebih dari "tafsir agama atau tafsir atas ayat-ayat Qur'an". Bukan agama itu sendiri. Tafsir inilah yang kemudian mencuatkan paham macam-macam yang ekstrim, nihilis, termasuk radikalisme dan terorisme.
Di pihak lain, tafsir agama ini pula yang mematikan gairah kehidupan manusia terhadap hal-hal yang bersifat kultural dan natural. Gegara nikah beda agama, misalnya, wanita diusir orang tuanya. Gegara hidup bersama antara pria dan wanita lajang, keduanya dikucilkan dan dianggap telah melakukan dosa besar yang tak termaafkan. Hukumannya dirajam.
Salah satu tindakan syar’i yang menggemparkan dunia adalah eksekusi mati terhadap Misha’al binti Fahd Al-Saud, putri keluarga Kerajaan Saudi Arabia dan kekasihnya Khaled al-Shaer Mulhallal, di tahun 1977. Misha’al sudah dijodohkan oleh ayahnya, tapi si putri lebih memilih Khaled. Demi pilihannya, sang putri kabur dari istana.
Ketika kedua merpati ini tertangkap askar Kerajaan, Misha’al mengakui telah berzinah dengan Khalid. Padahal Kerajaan minta putri tidak mengakuinya agar terhindar dari hukuman mati. Tapi Misha’al jujur - tetap mengakui telah “make love” dengan Khaled. Eksekusi mati pun tak terhindarkan. Itulah hukum Islam. Merampas nyawa dan cinta demi hukum agama yang diyakininya.
Pihak Kerajaan tampaknya lupa, hingga hari ini konsep milkul yamin – budak pemuas nafsu seks bagi pemiliknya – masih berlaku di Saudi. Karena kitab suci Al-Quran tidak pernah melarangnya. Hubungan seks yang “dipaksakan” majikan terhadap budaknya tanpa menikah (sex non marital) tersebut sesungguhnya lebih buruk dari apa yang dilakukan Misha’al dan Khaled.
Kisah ini sekadar menunjukkan betapa problematisnya hukum syar’i bila bertautan dengan kehidupan ril di masyarakat. Dr. Abdul Aziz dalam disertasinya yang berjudul “Konsep Milkul Yamin Muhammad Syahrur Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” mengungkapkan panjang lebar – bagaimana absurd dan dzalimnya hukum-hukum syari yang merujuk tafsir-tafsir tertentu – khususnya yang terkait dengan perbudakan dan hubungan seksual non-marital – di dunia Islam.
Bayangkan! Sheikh Saleh al- Fauzan, ulama senior Arab Saudi – seperti ditulis Abdul Aziz dalam disertasinya menyatakan: perbudakan merupakan bagian dari ajaan Islam. Perbudakan adalah bagian dari jihad. Maka sepanjang ada Islam selalu ada jihad. Seorang muslim yang berpendapat bahwa Islam melawan perbudakan adalah bodoh, bukan terpelajar. Siapa yang mengatakan hal seperti itu adalah kafir. Muslim kebanyakan adalah musyrik. Karena itu, harta dan darah mereka halal diambil oleh “muslim sejati” (Konsep Milkul Yamin, Abdul Aziz, hal. 8)
Lanjut! Timbulnya sikap anarkisme, radikalisme, dan terorisme, tegas Lora Islah Bahrawi, adalah buah dari tafsir kaum atau mazhab tertentu atas teks-teks kitab suci. Tafsir kalangan tertentu atas teks-teks tersebut kemudian, menjadi pedoman hidup yang destruktif terhadap kemanusiaan. Padahal – kata Buya Syakur – hukum apa pun yang anti-kemanusiaan adalah palsu. Bukan dari agama!
Di pihak lain, tafsir atas teks-teks kitab suci yang sejalan (in line) dengan kehidupan natural dan kultural justru dipasung oleh para "mufassirin" yang mengatas-namakan agama. Akibatnya, agama memasung kebebasan dan kreativitas manusia.
Kondisi ini menjadikan manusia sebagai "korban" agama. Dengan kata lain, manusia adalah untuk agama. Bukan agama untuk manusia. Padahal kita tahu, Nabi Muhammad diutus Allah untuk merahmati alam semesta (rahmatan lil’alamin).
Artikel Terkait
Indra Bekti Alami Pecah Pembuluh Darah, Ayu Dewi: Doa dan Al Fatihah Ku Mengalir untuk Mu
Bacaan Doa Setelah Membaca Surat Yasin Teks Arab Latin Lengkap Terjemahan
Teks Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun Tulisan Arab Latin Lengkap Terjemahan Bahasa Indonesia Serta Adab Berdoa
23 Ucapan Selamat Tahun Baru 2023 Islami, Cocok Jadi Doa dan Motivasi Menjalani Kehidupan Lebih Baik
Bacaan Doa Akhir dan Awal Tahun yang Dianjurkan Nabi Muhammad SAW, Baca Setelah Sholat Ashar hingga Maghrib