Rabu, 7 Juni 2023

Revolusi dan Reformasi di Mesir dan Arab Saudi

- Kamis, 22 Desember 2022 | 09:13 WIB
Abdul Mun'im Sa'id (mush'ab muqoddas)
Abdul Mun'im Sa'id (mush'ab muqoddas)

Abdul Mun’im Sa’id

Ketua Badan Penasehat Egyptian Center for Strategic Studies

Anggota Dewan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme Mesir

 

Kata revolusi dan reformasitampak kontradiktif.  Karena apa yang diketahui sebagian orang terkait revolusi adalah istilah yang berkaitan dengan gerakan-gerakan yang populer, radikal dan ekstrim, serta sering menggunakan kekerasan di mana darah mengalir, dan bahkan deras. Sedangkan reformasi berkaitan dengan pandangan dan konsep yang elitis dan bertahap, yang tidak mengenal pembakaran fasilitas publik atau kerusuhan di jalanan.

Gambaran revolusi menemukan nilainya pada bagan sebelumnya, dan kebijaksanaan waktu melebihi itu. Pengalaman Barat pada akhir abad ke-18 membuat kita menerima banyak pesan yang bermanfaat pada awal abad ke-21 ini. Pada akhir abad ke-18, di Benua Amerika, meletus perang saudara antara Amerika Serikat dan Amerika Selatan dan berakhir dengan penggulingan kaum kolonialis. Revolusi Prancis, yang lebih radikal, menggulingkan monarki dan diikuti oleh Perang Napoleon, yang ditampilkan dalam berbagai narasi propaganda  Perang Eropa.

Ada kekhawatiran yang mendalam tentang hasil yang dialami yang ditimbulkannya serta tekanan pada hubungan politik antar negara. Di Kawasan Amerika Utara, presiden kedua Amerikan Serikat John Adams gagal menghapuskan perbudakan dalam Konstitusi Amerika Serikat, mengakibatkan kekacauan di berbagai daerah yang masih dikuasai oleh para revolusioner yang berasal dari Prancis.

Di Eropa, setelah kekalahan Napoleon pada tahun 1815, empat kekuatan konservatif bertemu di Eropa yaitu Inggris, Austria, Prusia, dan Rusia, saling bersitegang hingga kemudian memunculkan Perang Dunia I.

Henry Kissinger mengabadikan pertemuan ini dalam sebuah buku terkenal dengan judul A World Restored. Gagasan dasar yang disepakati oleh kelima pihak tersebut tidak hanya memusuhi dan menentang revolusi, tetapi pada hakekatnya didasarkan pada keniscayaan reformasi.

Reformasi juga tak terelakkan dan radikal karena tidak mungkin situasi tetap seperti ini, juga revolusi dan perang tidak terjadi karenanya. Meskipun diakui bahwa analogi sejarah terkadang bisa menyesatkan. Hal ini memberi kita banyak wawasan yang membantu kita memahami apa yang sedang terjadi di masa sekarang.

Momen revolusi di wilayah Arab datang dengan apa yang disebut Arab Spring, yang menghasilkan banyak ledakan dan kekacauan dan sejumlah perang saudara, serta menghasilkan kawasan-kawasan yang dikuasai oleh kelompok-kelompok teroris yang bertujuan mendirikan Kekhalifahan Islam dengan aksi-aksi teror, menerapkan ideologi mereka secara fanatis dan ekstrim penuh bersimbah darah. Tanpa merinci banyak, tahun 2015 kita menyaksikan banyak perkembangan sejarah di wilayah tersebut, beberapa di antaranya masih mencerminkan keruntuhan pasca revolusi. Namun, yang lain menghasilkan gelombang reformasi berdasarkan konsep negara nasional dengan batas kemanusiaan, identitas historis warga negara dengan hak yang sama, dan proyek nasional yang mendorong pembangunan dan kemajuan ekonomi dan sosial secara lebih merata.

Meskipun gagasan-gagasan ini mencakup banyak negara Arab, yang menjadi perhatian kami di artikel ini adalah pengalaman Mesir dan Arab Saudi, karena keduanya memulainya melalui visi temporal antara tahun 2015 dan 2030, serta karena keduanya mendapat manfaat dari wilayah tersebut dan kepadatan penduduk, termasuk pemandangan indah dari situs penting dan sejarah yang dalam. Mengejutkan bahwa keduanya mendasarkan reformasi dan modernisasi pada proses berskala besar untuk menembus wilayah negara, yang jumlahnya mencapai satu juta kilometer persegi di Mesir, dan dua juta di Arab Saudi. Di Mesir, penetrasi terjadi dari "sungai ke laut", karena orang Mesir menghubungkan sungai abadi tempat mereka hidup selama ribuan tahun, dalam lindungan dan kerunia Tuhan. Di Arab Saudi, hubungan terjadi antara Teluk Arab di timur dan Laut Merah di barat, dan dari Ar Rub’e Al Khali di selatan hingga perbatasan Syam di utara. Tidak kalah pentingnya bahwa Aegara Al-Azhar dan Negara Dua Masjid Suci berfokus pada kebutuhan untuk memperbaharui dan mereformasi pemikiran keagamaan, sebagai upaya koreksi atas ideologi dan pemikiran radikal Ikhwanul Muslimin yang diterapkan oleh para pengikut ekstremisnya dengan dalih Arab Spring.

Sebenarnya, mungkin tidak tepat membicarakan reformasi dan proses pembangunan, di saat Mesir sedang menghadapi kesulitan ekonomi yang cukup sulit. Arab Saudi juga menghadapi tekanan dari negara-negara Barat untuk mendorongnya meningkatkan produksi minyak. Cairo dan Riyadh (dan nyatanya sekarang Abu Dhabi dan Doha turut bergabung) terkena banyak tekanan dari negara-negara Barat di bawah berbagai isu dalam narasi-narasi propaganda yang bukan tempat untuk dibicarakan di dalam artikel ini.

Namun kenyataannya, proses reformasi yang sedang berlangsung dan implementasi proyek nasional yang multidimensi tidak menyebabkan tekanan-tekanan tersebut di atas untuk membalikkannya. Siapa pun yang melihat ke daratan Mesir akan menemukan banyak kegiatan perekonomian yang tidak berhenti walau sesaat. Juga tidak terputus proyek-proyek perluasan jalan, pembangunan kota, pendirian pabrik, atau penyelesaian pembangunan berbagai universitas atau museum. Namun, yang paling luar biasa adalah bahwa proyek “Kehidupan yang Layak”, yang memengaruhi kemajuan 58 juta orang di pedesaan Mesir, tetap mempertahankan karakteristik mereka.

Halaman:

Editor: Mushab Muuqoddas

Tags

Terkini

Prahara di Mahkamah Agung

Minggu, 7 Mei 2023 | 20:49 WIB

Ganjar, Hadiah Idul Fitri?

Sabtu, 22 April 2023 | 08:13 WIB

Redupnya Adidaya Paman Sam

Minggu, 16 April 2023 | 12:54 WIB

Buya Syafii dan Mbah Moen

Jumat, 14 April 2023 | 12:42 WIB

Ida Dayak dan Cinta Tuhan

Rabu, 12 April 2023 | 13:05 WIB

Mengapa Israel Sangat Berpengaruh di Dunia

Selasa, 4 April 2023 | 07:34 WIB

Kesesatan Penegak Hukum Karena Takut Gaduh

Senin, 27 Maret 2023 | 08:42 WIB

Ekonomi Pancasila dari Perspektif Hankamnas

Jumat, 17 Maret 2023 | 14:23 WIB
X