Rabu, 7 Juni 2023

Mobilisasi Gerakan Basis Dogma: Agama Alat Pemersatu atau Biang Perpecahan?

- Minggu, 18 Desember 2022 | 17:02 WIB
Ilustrasi agama islam (pexels/Meruyert Gonullu)
Ilustrasi agama islam (pexels/Meruyert Gonullu)

Oleh: M. Zaky Almubarak - Mahasiswa FISIP UIN Jakarta


Dalam setiap gerakan sosial, mobilisasi masa menjadi faktor penting untuk mengadakan aksi. Gerakan sosial akan bisa dilakukan apabila memiliki masa yang besar, masa yang besar bisa didapatkan apabila mobilisasi berhasil dilakukan, maka mobilisasi menjadi komponen penting dalam gerakan sosial.

Untuk memobilisasi masa dipelukan sebuah isu yang menjadi fokus utama, dan tentu isu tersebut dirasakan oleh banyak orang dan menyangkut kemaslahatan bersama. Menyatukan persepsi dalam melihat isu menjadi tantangan untuk melakukan mobilisasi, entah isu yang dibawa tidak terlalu berpengaruh signifikan pada individu seseorang atau kurangnya pemahaman terhadap isu yang sedang diperbincangkan, menjadi liku dalam melakukan mobilisasi.

Ilmuwan India, Rajendra Singh (2001) menggolongkan isu-isu atau tema-tema gerakan sosial. Ia menyebutkan tema-tema gerakan sosial diantaranya adalah (1) gerakan petani, (2) gerakan suku, (3) gerakan lingkungan dan (4) gerakan feminisme.

Baca Juga: Penjelasan Hakim Soal Alasan Aset Doni Salmanan Dikembalikan

Jika dilihat dari penggolongan tema, maka kita dapat memprediksi partisipan yang menjadi bagian dalam sebuah gerakan. Hal ini menunjukkan identitas menjadi bagian penting dalam efektifitas memobilisasi masa gerakan sosial. Isu yang memiliki keterkaitan terhadap identitas masyarakat seseorang, maka orang tersebut akan lebih mudah digiring untuk melakukan gerakan.

Jika berbicara isu apa yang paling membuat orang mudah untuk digiring, maka identitas berbasis agamalah yang akan mendapat reaksi yang besar. Masyarakat akan menjadi lebih sensitif apabila ada permasalahan yang menyangkut agama.

Hal ini wajar, mengingat agama merupakan keimanan/keyakinan tertinggi dari seseorang yang akan dilawan apabila ada sebuah distorsi yang menodai agama. Menilik kebelakang terkait gerakan sosial berbasis agama, salah satu contoh bagaimana isu agama dapat memobilisasi masa yang besar adalah aksi 212. Meskipun secara data pasti ada perbedaan data mengenai masa aksi yang hadir, namun dari foto-foto yang beredar aksi tersebut dihadiri begitu banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan ada masa aksi yang rela berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta untuk mengikuti aksi. Hal ini menunjukkan bahwa agama menjadi isu yang efektif untuk memobilisasi masa.

Baca Juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Meledaknya Akuarium Isi Ribuan Ikan di Jerman
Agama yang menjadi alat framing ketika membuat gerakan, apakah agama sebagai pemersatu atau malah pembuat polarisasi. Jika mengacu pada imbas dari aksi 212, betapa fenomena perpecahan terhadap pilihan politik begitu kontras, hingga timbul istilah-istilah yang disematkan pada salah satu kubu seperti, kadrun, cebong, kampret, dll. Bahkan saling serang antara kedua belah kubu masih terjadi di media sosial hingga saat ini.


Fenomena yang terjadi ini, lagi menandakan jika sensitifitas terhadap agama memang betul adanya. Lantas apakah agama membuat polarisasi?

Jika mengacu substansi ajaran dalam agama, agama berisi tentang moral. Misalnya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah Ayat 27-31, terdapat pesan-pesan moral yaitu pesan moral terpuji untuk dilakukan dan pesan moral tercela untuk dihindari. Pesan moral terpuji berupa: amar ma'ruf nahi mungkar, Iffah, tawakal, sabar, ikhlas, dan takwa. Sedangkan pesan moral tercela berupa: dusta, fasik, sombong, dan dengki. Begitu pula agama lainya, basis pengajarannya selalu menekankan nilai-nilai kebaikan yang dianjurkan untuk direalisasikan penganutnya.

Baca Juga: Tangis Haru Perjuangan Tamara Blezynski Soal Warisan Ayah hingga Rencana Jual Hotel
Lantas bagaimana bisa agama memicu perpecahan, sedangkan begitu banyak nilai kebaikan yang terkandung dalam ajaran agama. Pada tataran ini agama tidak hanya menjadi faktor pemersatu (intergrative factor) karena umat agama cenderung memiliki solidaritas terhadap sesamanya, tetapi juga faktor disintegrative (disintegrative factor). Faktor disintegrative timbul bukanlah berasal dari ajaran agama, namun penganut agama.

Fanatisme seseorang terhadap agama membuat buta, yang menjadikan mudah terpantik emosi meskipun belum mengetahui secara pasti permasalahan yang terjadi. Inilah yang membuat dalam memframing gerakan, isu agama mendapatkan simpatisan yang banyak. Selanjutnya agama dijadikan alat pemersatu untuk memecahkan, artinya terdapat oknum yang mengatasnamakan agama untuk tujuan tertentu. Agama hanyalah dijadikan kedok dalam memuluskan tujuan yang ingin dicapai, akibatnya timbul stigma bahwa agama biang perpecahan.***

Editor: Bintang Fajri

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Prahara di Mahkamah Agung

Minggu, 7 Mei 2023 | 20:49 WIB

Ganjar, Hadiah Idul Fitri?

Sabtu, 22 April 2023 | 08:13 WIB

Redupnya Adidaya Paman Sam

Minggu, 16 April 2023 | 12:54 WIB

Buya Syafii dan Mbah Moen

Jumat, 14 April 2023 | 12:42 WIB

Ida Dayak dan Cinta Tuhan

Rabu, 12 April 2023 | 13:05 WIB

Mengapa Israel Sangat Berpengaruh di Dunia

Selasa, 4 April 2023 | 07:34 WIB

Kesesatan Penegak Hukum Karena Takut Gaduh

Senin, 27 Maret 2023 | 08:42 WIB

Ekonomi Pancasila dari Perspektif Hankamnas

Jumat, 17 Maret 2023 | 14:23 WIB
X