Oleh: Syaefudin Simon - Kolumnis/Wartawan
Suatu hari di tahun 1994, aku -- atas nama harian Republika -- berkunjung ke Abu Dhabi, salah satu negara bagian terbesar dari Uni Emirat Arab (UEA). Negara bagian Abu Dhabi ibukotanya Abu Dhabi sekaligus ibu kota UEA.
Salah satu negara bagian UEA adalah Dubai yg sekarang jadi salah satu kota termewah di dunia. Saat itu, Dubai, belum seramai sekarang.
Aku diundang dalam rangka memperkenalkan desain kota masa depan Dubai. Kondisi kota Dubai saat ini adalah desain yang diperkenalkan kpd kami (wartawan dari India, Pakistan, Cina, Amerika, Denmark, Prancis, Inggris, Polandia, sekitar 10 negara) pada tahun 1994 tadi.
UEA terdiri atas 7 negara bagian (emirat): Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain. Setiap keemiran dipimpin syaikh (semacam raja). Gabungan dari keemiran (UEA) dipimpin seorang presiden. Now presidennya Muhammad Bin Zaid (MBZ), putra Syaikh Zaid bin Sultan An-Nahyan (biasa disebut Syaikh Zaid An-Nahyan).
Abu Dhabi adalah salah satu emirat terkaya di UEA. Hampir semua tambang minyak, 2,5 juta barel perhari, berada di Abu Dhabi, yg tahun 1994 saat aku ke sana pnduduknya 2,5 juta (1,5 imigran dan 1 juta asli). Karena kekayaannya itulah presiden UEA berasal dari Abu Dhabi dan keturunan Syaikh Zaid bin Sultan An-Nahyan.
Jika saat ini kita melihat kehebatan Kota Dubai, kontributor dan aset terbesar adalah milik Abu Dhabi. Kota Dubai punya lokasi yg strategis. Itulah, maka Dubai dijadikan ikon UEA. Modalnya dari Abu Dhabi.
Di sini, kita melihat betapa kuatnya persatuan 7 emirat tersebut. Jadi salah belaka jika ada orang yg menuduh, negara-negara Arab sulit bersatu. Lihat, mereka di UEA bersatu. Abu Dhabi yg paling kaya tidak egois. Ia pilih Dubai untuk jadi icon UEA. Bukan Abu Dhabi.
Oh ya, mata uang yg berlaku di UEA adalah dirham dan dolar AS. Beli rokok pinggir jalan, misalnya, bisa pakai dirham atau USD.
Suatu hari, Jumat pagi, aku jalan-jalan di sekitar hotel Al-Jazira tempatku menginap di Dubai. Tetiba, aku lihat sebuah mobil tua, Toyota Crown, berhenti di depan hotel. Seorang tua turun dari mobil di dampingi dua asisten yg juga uda tua. Aku pikir blio orang biasa. Aku pun segera mendekati orang tua itu. Aku mendampinginya. Dua asistennya membiarkan aku menemani blio.
Aku ajak ngobrol, bahwa aku orang Indonesia. Orang tua itu manggut2. Lalu blio duduk di lobi hotel. Aku ajak bicara lagi ...bla..bla ..bla..
sambil memuji Abu Dhabi. Pakai bahasa Inggris, kadang Arab yg aku tahu dikit2.
Pas orang hotel melihat kami, tiba-tiba ribut. Mereka berteriak Syaikh Zaid. Syaikh Zaid. Orang hotel berebutan salaman. Mereka baru sadar, Syaikh Zaid sedang inspeksi mendadak ke hotel Al-Jazira
Aku juga baru sadar, orang tua yang duduk di sampingku adalah Syaikh Zaid bin Sultan An-Nahyan, singa padang pasir, pendiri Abu Dhabi (ayah dari Presiden UEA yang bulan lalu meresmikan masjid Syaikh Zaid di Solo). Syaikh Zaid An-Nahyan adalah orang yang luar biasa. Berani, pinter, jago perang (karenanya dijuluki singa padang pasir), dan berpikiran jauh ke depan.
Di tahun 1994, misalnya, kesadaran konservasi dan penghijauan sudah tinggi di UEA. Mobil menabrak pohon atau orang merobohkan pohon, dendanya ribuan dolar USD. Tergantung berapa umur dan jenis pohon yg rusak. Sepanjang jalan dari Abu Dhabi ke Dubai, misalnya, sudah hijau royo-royo.
Artikel Terkait
Ferry, Kongres HMI dan Saksi Nikah
IKN, Kritik Bloomberg, dan WTO
Bom Bandung : Persaingan ISIS dan Al Qaeda
Dilema Ekonomi Dunia di Tengah Populasi 8 Milyar